D-3 Farmasi STIKES Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap

D-3 Farmasi STIKES Al-Irsyad Al-Islamiyyah Cilacap

Sabtu, 24 Juli 2010

Fenomena Kesehatan Rakyat Miskin, Apakah Rakyat Miskin Dilarang Sakit?

Kesehatan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan kita. Berbagai cara dilakukan untuk menjaga kesehatan kita, salah satunya adalah jaminan atau asuransi kesehatan.Tidak dipungkiri kesehatan merupakan faktor penunjang maksimalnya kinerja kita. Semakin maksimalnya kinerja kita maka semakin optimalnya pembangunan bangsa. Karena itulah faktor kesehatan tidak lepas dari perhatian pemerintah, hal ini ditunjukan dengan disusunnya undang-undang tentang kesehatan oleh pemerintah, guna menjamin kesehatan masyarakatnya.

Banyak undang-undang diterapkan di Negara kita, salah satunya undang-undang kesehatan yang mengatur banyak bidang dalam kesehatan baik dari pengobatan, perawatan, pelayanan.semua sangat jelas diatur dalam undang-undang, disempurnakan kembali dengan adanya peraturan- peraturan mengenainya.dari sini terlihat betapa siap, betapa telitinya bangsa kita ini untuk mensejahterakan rakyatnya.Tapi pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak “ tak ada hal di dunia ini yang sempurna.begitu pula pada pelaksanaan undang-undang, peraturan yang dibuat oleh para menteri terlhat sangat sempurna tapi di aplikasinya banyak sekali terjadi hambatan serta diwarnai dengan manipulasi- manipulasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 34 bahwasanya” fakir miskin dan anak telantar dilindungi oleh Negara”,pasal 28 H “Sebagai warga negara, rakyat miskin mempunyai hak dasar yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan pemeliharaan hidup oleh negara, termasuk memelihara kesehatan, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dasar negara”. Sebagai konsekuensinya, tentu negara harus bertanggung jawab melindungi, menjaga, dan memelihara kesehatan seluruh warganya tanpa kecuali dan khususnya warga negara yang hidup dalam deraian kemiskinan dan selalu rentan terhadap aneka jenis penyakit.( Siswono, 2008).tetapi pada kenyataannya kewajiban pemerintah yang dicantumkan pada pasal 28 H belumlah terlaksana dengan baik hal ini ditunjukan dengan masih sulitnya masyarakat miskin mendapatkan jaminan kesehatan yang telah disediakan pemerintah, yaitu askeskin. Kesulitan yang menghambat masyarakat miskin mendapatkan haknya dirasakan mulai dari sulitnya pengurusan askeskin, informasi yang tidak menyeluruh ke semua rakyat miskin, ditambah dengan adanya pihak-pihak tertentu yang tidak jujur dalam mengalokasikan dana sehingga banyak dana yang hilang tak berbekas. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kontrol pemerintah dalam menjalankan kewajibannya sesuai dengan pasal 28 H dalam UUD1945. Pemerintah pun menegaskan kembali pasal tersebut melalui program Askeskin yaitu program pemerintah untuk menjamin kesehatan bagi masyarakat miskn dan yang kurang mampu.berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1241/MENKES/SK/XI/2004 pemerintah menunjukan PT.ASKES untuk menjalankan program tersebut.

Upaya pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk menjamin kesehatan masyarakatnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan , banyak terjadi kejanggalan mulai dari pelaksanaannya, koordinasi, verfikasi, hingga pemutakhiran data rakyat miskin. Mulai dari pendataan rakyat miskin sejak tahun pertama 2005, terdapat Rp 2.3 triliun alokasi dana Askeskin. Dan berturut tahun 2006 sebesar Rp 3,6 triliun, 2007 Rp 2,2 triliun dan untuk 2008 telah dianggarkan Rp 4,6 triliun. Artinya, total anggaran mencapai Rp 12,7 triliun, sementara jumlah rakyat miskin yang harus di-cover tahun ini sebanyak 76,4 juta orang, atau sekitar 30 persen dari total penduduk Indonesia.Menarik mencermati angka-angka yang dipaparkan instansi pemerintah dalam cakupan rakyat miskin. Badan Pusat Statistik-BPS, misalnya, pada awal Juli 2007 melansir jumlah penduduk miskin hingga Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa, atau mengalami pengurangan sebesar 2,13 juta jiwa. Artinya, sekitar 16,58 persen dari 224,177 juta penduduk Indonesia. Hitungan matematika sederhana, angka ini mengalami penurunan jumlah rakyat miskin dicatatkan lembaga yang sama pada Maret 2006 sebanyak 39,30 juta atau 17,75 persen dari 221,328 juta total penduduk Indonesia saat itu.

Menurut PT Askes, jumlah kepesertaan rakyat miskin dalam Program Askeskin berdasarkan data Gakin (keluarga miskin) yang kemudian dikoordinasikan dengan pemda, pada semester I 2005 sebanyak 36 juta jiwa. Semester II 2005 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 60 juta jiwa. Pada 2006 sebanyak 60 juta jiwa, sedangkan 2007 menjadi 76,4 juta jiwa dari 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) dengan asumsi masing-masing anggota keluarga 4 orang. Anehnya lagi, dalam pengelolaan anggaran Askeskin 2008 sebesar Rp 4,6 triliun, jumlah rakyat miskin tidak bergerak alias tetap di posisi 76,4 juta jiwa. Perhitungan Depkes sebagai pengelola baru Askeskin, dana yang tersedia diperkirakan mampu meng-cover sekitar 41 juta rakyat miskin. Artinya nasib sekitar 35,4 juta siap-siap terkapar akibat tidak mendapatkan akses kesehatan. Kalau beranjak dari perbandingan data-data BPS dan PT Askes/Depkes menyangkut keberadaan rakyat miskin, terlihat jelas perbedaan signifikan, sebesar 37,23 juta jiwa atau lebih dari dua kali lipat jumlah rakyat miskin versi BPS. Artinya, kalau ikut versi PT Askes/Depkes, maka rakyat miskin yang berhak mendapatkan Askeskin, hampir 33 persen dari total penduduk Indonesia, atau setara dengan total penduduk Mesir, yang jumlahnya 76 juta lebih, sesuai versi CIA World Factbook 2004. Sebagai pelaksana tunggal Program Askeskin dengan bayaran management fee sebesar 5 persen dari hampir Rp 8 triliun total dana Askeskin hingga 2007 yang dikucurkan pemerintah, maka jumlah rakyat miskin sebagai peserta Askeskin akan mencengangkan bila dibandingkan paparan BPS. ( Siswono, 2008)

Tak hanya program Askeskin, pemerintah juga menjalankan program Jamkesmas yang dirujuk dari Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tetapi program ini masih bernafaskan asuransi sehingga mengharuskan pembayaran premi dan iuran masyarakat.padahal program ini berbeda dengan asuransi, pemerintah membayar semua kebutuhan medis sehingga masyarakat tidak dipungut biaya, baik untuk perawatan, fasilitas rumah sakit, dan semua obat.tetapi dalam kenyataannya masyarakat miskin masih mengalami kesulitan untuk dapat menikmati yang menjadi hak mereka yang telah diatur dalam undang-undang.

Berbagai upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakatnya terutama masyarakat miskin masih belum maksimal. Masih banyak yang harus dibenahi dalam pelaksanaan undang-undang yang telah disusun oleh pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat miskin.

referensi : http://www.kabarbisnis.com/makro/politik/2810814-__Asuransi_wakil_rakyat_Rp5_5_juta__rakyat_miskin_Rp12_809.html
http://www.ptaskes.com/content.php?read=askesjamkesmas
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1203924521,93550,

Jumat, 23 Juli 2010

SWAMEDIKASI OLEH APOTEKER

SWAMEDIKASI OLEH APOTEKER

Swamedikasi merupakan pelayanan obat non resep kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri. Adanya swamedikasi ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan pasien atau masyarakat dalam melakukan pertolongan atau pengobatan awal pada sakit yang dideritanya secara cepat, aman, dan rasional. Yang berhak melakukan swamedikasi disini adalah apoteker, sehingga peran apoteker sangat penting sekali dalam pemberian segala informasi mengenai obat yang akan dikonsumsi pasien untuk menjamin pasien meminum obat secara tepat dan aman. Tidak semua obat dapat diberikan dengan swamedikasi, atau tanpa resep dokter. Obat yang dapat diberikan secara swamedikasi hanya obat golongan obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat OWA (Obat Wajib Apotek). Selain obat golongan tersebut dilarang untuk diberikan kepada pasien secara swamedikasi.

Namun pada kenyataannya, apoteker sering menyalahgunakan wewenangnya dalam melakukan swamedikasi dengan memberikan obat non OWA kepada pasien. Misalnya obat golongan antibiotik. Para masyarakat awam menganggap antibiotik merupakan obat yang sudah umum atau sering digunakan, dan tidak berbahaya sehingga tidak perlu tanpa resep dokter untuk mendapatkannya. Dengan keadaan ini apoteker dapat dengan mudah menjual antibiotik non resep. Padahal sudah jelas obat golongan antibiotik (tetrasiklin, penisilin, kloramfenikol, sulfonamide, dsb) terdapat logo K berwarna merah dalam lingkaran hitam yang merupakan logo obat keras. Obat golongan ini dapat membahayakan pasien apabila tidak dikonsumsi secara benar dan tepat. Misalnya antibiotik apabila tidak dikonsumsi sesuai dengan aturan, yaitu sejumlah obat yang diberikan harus diminum sampai habis walaupun sakit yang dideritanya telah sembuh, maka dapat mengakibatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut. Hal ini dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication eror) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap obat yang dikonsumsinya. Disini apoteker memiliki peran yang besar dalam memberikan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) kepada pasien. Maka hendaknya apoteker jangan memanfaatkan swamedikasi untuk menjual obat-obatan golongan keras dengan tanpa resep kepada pasien hanya untuk keuntungan semata.

Pemerintah telah menetapkan jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter dengan membuat beberapa SK, diantaranya SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut digolongkan menjadi obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1. Karena perkembangan bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan obat maka dipandang perlu untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini kemudian dilampirkan pada keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Kemudian dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, disebutkan bahwa dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan yng berlaku.

Maka dapat disimpulkan dari KepMenkes no 924, SK Menkes no 347 dan PP No.51 bahwa apoteker dalam melakukan swamedikasi tidak boleh memberikan obat keras non resep kepada pasien, kecuali obat keras yang termasuk dalam obat OWA. Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya melanggar aturan tersebut di atas saja, tetapi melanggar pula UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Karena tindakan tersebut yang dilakukan, bukannya memberi manfaat kesembuhan dan melindungi pasien tetapi justru membahayakan kesehatan pasien. Walaupun pemberian obat keras oleh apoteker disertai dengan pemberian KIE kepada pasien, tetap saja tindakan tersebut telah melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Sudah menjadi kewajiban dan tanggungjawab untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Sudah semestinya saat ini sebagai konsumen juga lebih cerdas dalam meneria atau membeli obat. Hendaknya juga lebih aktif dalam menanyakan obat-obatan yang akan dibeli atau dikonsumsi kepada tenaga medis yang merupakan ahlinya (apoteker atau dokter) sehingga menjamin keamanan apabila obat tersebut dikonsumsi. Dan juga masyarakat harus lebih pintar untuk mengetahui obat mana yang terjual bebas, yang dapat dibeli tanpa resep dokter, dan mana obat yang harus dibeli dengan resep dokter.

SWAMEDIKASI OLEH APOTEKER

SWAMEDIKASI OLEH APOTEKER

Swamedikasi merupakan pelayanan obat non resep kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri. Adanya swamedikasi ini bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan kemampuan pasien atau masyarakat dalam melakukan pertolongan atau pengobatan awal pada sakit yang dideritanya secara cepat, aman, dan rasional. Yang berhak melakukan swamedikasi disini adalah apoteker, sehingga peran apoteker sangat penting sekali dalam pemberian segala informasi mengenai obat yang akan dikonsumsi pasien untuk menjamin pasien meminum obat secara tepat dan aman. Tidak semua obat dapat diberikan dengan swamedikasi, atau tanpa resep dokter. Obat yang dapat diberikan secara swamedikasi hanya obat golongan obat bebas, obat bebas terbatas, dan obat OWA (Obat Wajib Apotek). Selain obat golongan tersebut dilarang untuk diberikan kepada pasien secara swamedikasi.

Namun pada kenyataannya, apoteker sering menyalahgunakan wewenangnya dalam melakukan swamedikasi dengan memberikan obat non OWA kepada pasien. Misalnya obat golongan antibiotik. Para masyarakat awam menganggap antibiotik merupakan obat yang sudah umum atau sering digunakan, dan tidak berbahaya sehingga tidak perlu tanpa resep dokter untuk mendapatkannya. Dengan keadaan ini apoteker dapat dengan mudah menjual antibiotik non resep. Padahal sudah jelas obat golongan antibiotik (tetrasiklin, penisilin, kloramfenikol, sulfonamide, dsb) terdapat logo K berwarna merah dalam lingkaran hitam yang merupakan logo obat keras. Obat golongan ini dapat membahayakan pasien apabila tidak dikonsumsi secara benar dan tepat. Misalnya antibiotik apabila tidak dikonsumsi sesuai dengan aturan, yaitu sejumlah obat yang diberikan harus diminum sampai habis walaupun sakit yang dideritanya telah sembuh, maka dapat mengakibatkan resistensi bakteri terhadap antibiotik tersebut. Hal ini dapat menjadi sumber terjadinya kesalahan pengobatan (medication eror) karena keterbatasan pengetahuan masyarakat terhadap obat yang dikonsumsinya. Disini apoteker memiliki peran yang besar dalam memberikan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi) kepada pasien. Maka hendaknya apoteker jangan memanfaatkan swamedikasi untuk menjual obat-obatan golongan keras dengan tanpa resep kepada pasien hanya untuk keuntungan semata.

Pemerintah telah menetapkan jenis obat keras yang dapat diserahkan tanpa resep dokter dengan membuat beberapa SK, diantaranya SK Menteri No. 347/MENKES/SK/VII/1990 tentang obat wajib apotek. Obat-obat yang terdaftar pada lampiran SK tersebut digolongkan menjadi obat wajib apotek No. 1 yang selanjutnya disebut OWA No. 1. Karena perkembangan bidang farmasi yang menyangkut khasiat dan keamanan obat maka dipandang perlu untuk ditetapkan daftar OWA No.2 sebagai revisi dari daftar OWA sebelumnya. Daftar OWA No. 2 ini kemudian dilampirkan pada keputusan menteri kesehatan No. 924/MENKES/PER/X/1993. Kemudian dalam PP 51 tahun 2009 pasal 24 huruf c, disebutkan bahwa dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan yng berlaku.

Maka dapat disimpulkan dari KepMenkes no 924, SK Menkes no 347 dan PP No.51 bahwa apoteker dalam melakukan swamedikasi tidak boleh memberikan obat keras non resep kepada pasien, kecuali obat keras yang termasuk dalam obat OWA. Pelanggaran hukum yang dilakukan tidak hanya melanggar aturan tersebut di atas saja, tetapi melanggar pula UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Karena tindakan tersebut yang dilakukan, bukannya memberi manfaat kesembuhan dan melindungi pasien tetapi justru membahayakan kesehatan pasien. Walaupun pemberian obat keras oleh apoteker disertai dengan pemberian KIE kepada pasien, tetap saja tindakan tersebut telah melanggar peraturan yang telah ditetapkan. Sudah menjadi kewajiban dan tanggungjawab untuk melakukan segala sesuatu sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Sudah semestinya saat ini sebagai konsumen juga lebih cerdas dalam menerima atau membeli obat. Hendaknya juga lebih aktif dalam menanyakan obat-obatan yang akan dibeli atau dikonsumsi kepada tenaga medis yang merupakan ahlinya (apoteker atau dokter) sehingga menjamin keamanan apabila obat tersebut dikonsumsi. Dan juga masyarakat harus lebih pintar untuk mengetahui obat mana yang terjual bebas, yang dapat dibeli tanpa resep dokter, dan mana obat yang harus dibeli dengan resep dokter.

MENGENAL BAHAN PENGAWET DALAM MAKANAN

Tabel. Pengaruh beberapa bahan pengawet terhadap kesehatan

Bahan Pengawet

Produk Pangan

Pengaruh terhadap Kesehatan

Ca-benzoat

Sari buah, minuman ringan, minuman anggur manis,
ikan asin

Dapat menyebabkan reaksi merugikan pada asmatis dan yang peka terhadap aspirin

Sulfur dioksida
(SO
2)

Sari buah, cider, buah kering, kacang kering, sirup, acar

Dapat menyebabkan pelukaan lambung, mempercepat serangan asma, mutasi genetik, kanker dan
alergi

K-nitrit

Daging kornet, daging kering, daging asin, pikel daging

Nitrit dapat mempengaruhi kemampuan sel darah untuk membawa oksigen, menyebabkan kesulitan bernafas dan sakit kepala, anemia, radang ginjal,
muntah

Ca- / Na-propionat

Produk roti dan tepung

Migrain, kelelahan, kesulitan tidur

Na-metasulfat

Produk roti dan tepung

Alergi kulit

Asam sorbat

Produk jeruk, keju, pikel dan salad

Pelukaan kulit

Natamysin

Produk daging dan keju

Dapat menyebabkan mual, muntah, tidak nafsu makan, diare dan pelukaan kulit

K-asetat

Makanan asam

Merusak fungsi ginjal

BHA

Daging babi segar dan sosisnya, minyak sayur, shortening, kripik kentang, pizza beku, instant teas

Menyebabkan penyakit hati dan kanker.



Asam Borat

pengawet pada bakso, mie, kerupuk dsb

Borak dapat menyebabkan kerusakan pada ginjal

Asam Salisilat

pengawet teh botol


Kloramfenikol

sebagai pengawet udang segar

terjadinya resistensi pada pengobatan.

Formalin

pengawet makanan.

formalin sangat berbahaya bagi kesehatan manusia karena bersifat karsinogenik.


2. Pengawet Alami

Bagaimana cara nelayan menjaga agar sisa ikan yang tidak terjual dalam keadaan segar tidak cepat membusuk dan tetap laku di pasaran? Yah, mereka menggunakan garam sebagai bahan pengawet untuk membuat ikan asin. Meskipun rasanya sudah berbeda dengan ikan segar, ikan asin masih tetap berprotein tinggi.

Berikut ini adalah contoh-contoh pengawet alami.

a. Gula tebu

Gula tebu memberi rasa manis dan bersifat mengawetkan. Buah-buahan yang disimpan dalam larutan gula pekat akan menjadi awet karena mikroorganisme sukar hidup di dalamnya.

b. Gula merah

Selain sebagai pemanis gula merah juga bersifat mengawetkan seperti halnya gula tebu.

c. Garam

Garam merupakan pengawet alami yang banyak dihasilkan dari penguapan air laut. Ikan asin dapat bertahan hingga berbulanbulan karena pengaruh garam.

d. Kunyit

Kunyit, selain sebagai pewarna, juga berfungsi sebagai pengawet. Dengan penggunaan kunyit, tahu atau nasi kuning menjadi tidak cepat basi.

e. Kulit kayu manis

Kulit kayu manis merupakan kulit kayu yang berfungsi sebagai pengawet karena banyak mengandung asam benzoat. Selain itu, kayu manis juga berfungsi sebagai pemanis dan pemberi aroma.

f. Cengkih

Cengkih merupakan pengawet alami yang dihasilkan dari bunga tanaman cengkih. Selain sebagai pengawet, cengkih juga berfungsi sebagai penambah aroma.

Referensi:

  1. http://gurumuda.com/ebook-gratis/pengawet

  2. http://smk3ae.wordpress.com/2008/10/16/mengenal-bahan-kimia-pengawet-makanan-dan-bahan-tambahan-pangan/


fenomena kesehatan bagi rakyat miskin, apakah rakyat miskin dilarang sakit ?

Kesehatan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan kita. Berbagai cara dilakukan untuk menjaga kesehatan kita, salah satunya adalah jaminan atau asuransi kesehatan.Tidak dipungkiri kesehatan merupakan faktor penunjang maksimalnya kinerja kita. Semakin maksimalnya kinerja kita maka semakin optimalnya pembangunan bangsa. Karena itulah faktor kesehatan tidak lepas dari perhatian pemerintah, hal ini ditunjukan dengan disusunnya undang-undang tentang kesehatan oleh pemerintah, guna menjamin kesehatan masyarakatnya.

Banyak undang-undang diterapkan di Negara kita, salah satunya undang-undang kesehatan yang mengatur banyak bidang dalam kesehatan baik dari pengobatan, perawatan, pelayanan.semua sangat jelas diatur dalam undang-undang, disempurnakan kembali dengan adanya peraturan- peraturan mengenainya.dari sini terlihat betapa siap, betapa telitinya bangsa kita ini untuk mensejahterakan rakyatnya.Tapi pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak “ tak ada hal di dunia ini yang sempurna.begitu pula pada pelaksanaan undang-undang, peraturan yang dibuat oleh para menteri terlhat sangat sempurna tapi di aplikasinya banyak sekali terjadi hambatan serta diwarnai dengan manipulasi- manipulasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 34 bahwasanya” fakir miskin dan anak telantar dilindungi oleh Negara”,pasal 28 H “Sebagai warga negara, rakyat miskin mempunyai hak dasar yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan pemeliharaan hidup oleh negara, termasuk memelihara kesehatan, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dasar negara”. Sebagai konsekuensinya, tentu negara harus bertanggung jawab melindungi, menjaga, dan memelihara kesehatan seluruh warganya tanpa kecuali dan khususnya warga negara yang hidup dalam deraian kemiskinan dan selalu rentan terhadap aneka jenis penyakit.( Siswono, 2008).tetapi pada kenyataannya kewajiban pemerintah yang dicantumkan pada pasal 28 H belumlah terlaksana dengan baik hal ini ditunjukan dengan masih sulitnya masyarakat miskin mendapatkan jaminan kesehatan yang telah disediakan pemerintah, yaitu askeskin. Kesulitan yang menghambat masyarakat miskin mendapatkan haknya dirasakan mulai dari sulitnya pengurusan askeskin, informasi yang tidak menyeluruh ke semua rakyat miskin, ditambah dengan adanya pihak-pihak tertentu yang tidak jujur dalam mengalokasikan dana sehingga banyak dana yang hilang tak berbekas. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kontrol pemerintah dalam menjalankan kewajibannya sesuai dengan pasal 28 H dalam UUD1945. Pemerintah pun menegaskan kembali pasal tersebut melalui program Askeskin yaitu program pemerintah untuk menjamin kesehatan bagi masyarakat miskn dan yang kurang mampu.berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1241/MENKES/SK/XI/2004 pemerintah menunjukan PT.ASKES untuk menjalankan program tersebut.

Upaya pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk menjamin kesehatan masyarakatnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan , banyak terjadi kejanggalan mulai dari pelaksanaannya, koordinasi, verfikasi, hingga pemutakhiran data rakyat miskin. Mulai dari pendataan rakyat miskin sejak tahun pertama 2005, terdapat Rp 2.3 triliun alokasi dana Askeskin. Dan berturut tahun 2006 sebesar Rp 3,6 triliun, 2007 Rp 2,2 triliun dan untuk 2008 telah dianggarkan Rp 4,6 triliun. Artinya, total anggaran mencapai Rp 12,7 triliun, sementara jumlah rakyat miskin yang harus di-cover tahun ini sebanyak 76,4 juta orang, atau sekitar 30 persen dari total penduduk Indonesia.Menarik mencermati angka-angka yang dipaparkan instansi pemerintah dalam cakupan rakyat miskin. Badan Pusat Statistik-BPS, misalnya, pada awal Juli 2007 melansir jumlah penduduk miskin hingga Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa, atau mengalami pengurangan sebesar 2,13 juta jiwa. Artinya, sekitar 16,58 persen dari 224,177 juta penduduk Indonesia. Hitungan matematika sederhana, angka ini mengalami penurunan jumlah rakyat miskin dicatatkan lembaga yang sama pada Maret 2006 sebanyak 39,30 juta atau 17,75 persen dari 221,328 juta total penduduk Indonesia saat itu.

Menurut PT Askes, jumlah kepesertaan rakyat miskin dalam Program Askeskin berdasarkan data Gakin (keluarga miskin) yang kemudian dikoordinasikan dengan pemda, pada semester I 2005 sebanyak 36 juta jiwa. Semester II 2005 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 60 juta jiwa. Pada 2006 sebanyak 60 juta jiwa, sedangkan 2007 menjadi 76,4 juta jiwa dari 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) dengan asumsi masing-masing anggota keluarga 4 orang. Anehnya lagi, dalam pengelolaan anggaran Askeskin 2008 sebesar Rp 4,6 triliun, jumlah rakyat miskin tidak bergerak alias tetap di posisi 76,4 juta jiwa. Perhitungan Depkes sebagai pengelola baru Askeskin, dana yang tersedia diperkirakan mampu meng-cover sekitar 41 juta rakyat miskin. Artinya nasib sekitar 35,4 juta siap-siap terkapar akibat tidak mendapatkan akses kesehatan. Kalau beranjak dari perbandingan data-data BPS dan PT Askes/Depkes menyangkut keberadaan rakyat miskin, terlihat jelas perbedaan signifikan, sebesar 37,23 juta jiwa atau lebih dari dua kali lipat jumlah rakyat miskin versi BPS. Artinya, kalau ikut versi PT Askes/Depkes, maka rakyat miskin yang berhak mendapatkan Askeskin, hampir 33 persen dari total penduduk Indonesia, atau setara dengan total penduduk Mesir, yang jumlahnya 76 juta lebih, sesuai versi CIA World Factbook 2004. Sebagai pelaksana tunggal Program Askeskin dengan bayaran management fee sebesar 5 persen dari hampir Rp 8 triliun total dana Askeskin hingga 2007 yang dikucurkan pemerintah, maka jumlah rakyat miskin sebagai peserta Askeskin akan mencengangkan bila dibandingkan paparan BPS. ( Siswono, 2008)

Tak hanya program Askeskin, pemerintah juga menjalankan program Jamkesmas yang dirujuk dari Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tetapi program ini masih bernafaskan asuransi sehingga mengharuskan pembayaran premi dan iuran masyarakat.padahal program ini berbeda dengan asuransi, pemerintah membayar semua kebutuhan medis sehingga masyarakat tidak dipungut biaya, baik untuk perawatan, fasilitas rumah sakit, dan semua obat.tetapi dalam kenyataannya masyarakat miskin masih mengalami kesulitan untuk dapat menikmati yang menjadi hak mereka yang telah diatur dalam undang-undang.

Berbagai upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakatnya terutama masyarakat miskin masih belum maksimal. Masih banyak yang harus dibenahi dalam pelaksanaan undang-undang yang telah disusun oleh pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat miskin.

referensi : http://www.kabarbisnis.com/makro/politik/2810814-__Asuransi_wakil_rakyat_Rp5_5_juta__rakyat_miskin_Rp12_809.html
http://www.ptaskes.com/content.php?read=askesjamkesmas
http://www.gizi.net/cgi-bin/berita/fullnews.cgi?newsid1203924521,93550,

Kesehatan merupakan salah satu aspek yang sangat penting bagi kehidupan kita. Berbagai cara dilakukan untuk menjaga kesehatan kita, salah satunya adalah jaminan atau asuransi kesehatan.Tidak dipungkiri kesehatan merupakan faktor penunjang maksimalnya kinerja kita. Semakin maksimalnya kinerja kita maka semakin optimalnya pembangunan bangsa. Karena itulah faktor kesehatan tidak lepas dari perhatian pemerintah, hal ini ditunjukan dengan disusunnya undang-undang tentang kesehatan oleh pemerintah, guna menjamin kesehatan masyarakatnya.

Banyak undang-undang diterapkan di Negara kita, salah satunya undang-undang kesehatan yang mengatur banyak bidang dalam kesehatan baik dari pengobatan, perawatan, pelayanan.semua sangat jelas diatur dalam undang-undang, disempurnakan kembali dengan adanya peraturan- peraturan mengenainya.dari sini terlihat betapa siap, betapa telitinya bangsa kita ini untuk mensejahterakan rakyatnya.Tapi pepatah mengatakan “tak ada gading yang tak retak “ tak ada hal di dunia ini yang sempurna.begitu pula pada pelaksanaan undang-undang, peraturan yang dibuat oleh para menteri terlhat sangat sempurna tapi di aplikasinya banyak sekali terjadi hambatan serta diwarnai dengan manipulasi- manipulasi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 34 bahwasanya” fakir miskin dan anak telantar dilindungi oleh Negara”,pasal 28 H “Sebagai warga negara, rakyat miskin mempunyai hak dasar yang melekat pada dirinya untuk mendapatkan pemeliharaan hidup oleh negara, termasuk memelihara kesehatan, sebagaimana dijamin dalam konstitusi dasar negara”. Sebagai konsekuensinya, tentu negara harus bertanggung jawab melindungi, menjaga, dan memelihara kesehatan seluruh warganya tanpa kecuali dan khususnya warga negara yang hidup dalam deraian kemiskinan dan selalu rentan terhadap aneka jenis penyakit.( Siswono, 2008).tetapi pada kenyataannya kewajiban pemerintah yang dicantumkan pada pasal 28 H belumlah terlaksana dengan baik hal ini ditunjukan dengan masih sulitnya masyarakat miskin mendapatkan jaminan kesehatan yang telah disediakan pemerintah, yaitu askeskin. Kesulitan yang menghambat masyarakat miskin mendapatkan haknya dirasakan mulai dari sulitnya pengurusan askeskin, informasi yang tidak menyeluruh ke semua rakyat miskin, ditambah dengan adanya pihak-pihak tertentu yang tidak jujur dalam mengalokasikan dana sehingga banyak dana yang hilang tak berbekas. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya kontrol pemerintah dalam menjalankan kewajibannya sesuai dengan pasal 28 H dalam UUD1945. Pemerintah pun menegaskan kembali pasal tersebut melalui program Askeskin yaitu program pemerintah untuk menjamin kesehatan bagi masyarakat miskn dan yang kurang mampu.berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan nomor 1241/MENKES/SK/XI/2004 pemerintah menunjukan PT.ASKES untuk menjalankan program tersebut.

Upaya pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk menjamin kesehatan masyarakatnya ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan , banyak terjadi kejanggalan mulai dari pelaksanaannya, koordinasi, verfikasi, hingga pemutakhiran data rakyat miskin. Mulai dari pendataan rakyat miskin sejak tahun pertama 2005, terdapat Rp 2.3 triliun alokasi dana Askeskin. Dan berturut tahun 2006 sebesar Rp 3,6 triliun, 2007 Rp 2,2 triliun dan untuk 2008 telah dianggarkan Rp 4,6 triliun. Artinya, total anggaran mencapai Rp 12,7 triliun, sementara jumlah rakyat miskin yang harus di-cover tahun ini sebanyak 76,4 juta orang, atau sekitar 30 persen dari total penduduk Indonesia.Menarik mencermati angka-angka yang dipaparkan instansi pemerintah dalam cakupan rakyat miskin. Badan Pusat Statistik-BPS, misalnya, pada awal Juli 2007 melansir jumlah penduduk miskin hingga Maret 2007 sebanyak 37,17 juta jiwa, atau mengalami pengurangan sebesar 2,13 juta jiwa. Artinya, sekitar 16,58 persen dari 224,177 juta penduduk Indonesia. Hitungan matematika sederhana, angka ini mengalami penurunan jumlah rakyat miskin dicatatkan lembaga yang sama pada Maret 2006 sebanyak 39,30 juta atau 17,75 persen dari 221,328 juta total penduduk Indonesia saat itu.

Menurut PT Askes, jumlah kepesertaan rakyat miskin dalam Program Askeskin berdasarkan data Gakin (keluarga miskin) yang kemudian dikoordinasikan dengan pemda, pada semester I 2005 sebanyak 36 juta jiwa. Semester II 2005 meningkat hampir dua kali lipat menjadi 60 juta jiwa. Pada 2006 sebanyak 60 juta jiwa, sedangkan 2007 menjadi 76,4 juta jiwa dari 19,1 juta rumah tangga miskin (RTM) dengan asumsi masing-masing anggota keluarga 4 orang. Anehnya lagi, dalam pengelolaan anggaran Askeskin 2008 sebesar Rp 4,6 triliun, jumlah rakyat miskin tidak bergerak alias tetap di posisi 76,4 juta jiwa. Perhitungan Depkes sebagai pengelola baru Askeskin, dana yang tersedia diperkirakan mampu meng-cover sekitar 41 juta rakyat miskin. Artinya nasib sekitar 35,4 juta siap-siap terkapar akibat tidak mendapatkan akses kesehatan. Kalau beranjak dari perbandingan data-data BPS dan PT Askes/Depkes menyangkut keberadaan rakyat miskin, terlihat jelas perbedaan signifikan, sebesar 37,23 juta jiwa atau lebih dari dua kali lipat jumlah rakyat miskin versi BPS. Artinya, kalau ikut versi PT Askes/Depkes, maka rakyat miskin yang berhak mendapatkan Askeskin, hampir 33 persen dari total penduduk Indonesia, atau setara dengan total penduduk Mesir, yang jumlahnya 76 juta lebih, sesuai versi CIA World Factbook 2004. Sebagai pelaksana tunggal Program Askeskin dengan bayaran management fee sebesar 5 persen dari hampir Rp 8 triliun total dana Askeskin hingga 2007 yang dikucurkan pemerintah, maka jumlah rakyat miskin sebagai peserta Askeskin akan mencengangkan bila dibandingkan paparan BPS. ( Siswono, 2008)

Tak hanya program Askeskin, pemerintah juga menjalankan program Jamkesmas yang dirujuk dari Undang-Undang nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) tetapi program ini masih bernafaskan asuransi sehingga mengharuskan pembayaran premi dan iuran masyarakat.padahal program ini berbeda dengan asuransi, pemerintah membayar semua kebutuhan medis sehingga masyarakat tidak dipungut biaya, baik untuk perawatan, fasilitas rumah sakit, dan semua obat.tetapi dalam kenyataannya masyarakat miskin masih mengalami kesulitan untuk dapat menikmati yang menjadi hak mereka yang telah diatur dalam undang-undang.

Berbagai upaya pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakatnya terutama masyarakat miskin masih belum maksimal. Masih banyak yang harus dibenahi dalam pelaksanaan undang-undang yang telah disusun oleh pemerintah untuk menjamin kesehatan masyarakat miskin.

Kamis, 22 Juli 2010

Polemik Penyerahan dan Pelayanan Obat

Berdasarkan PP Nomor 51 tahun 2009 pasal 21 ayat 2 menyebutkan bahwa “ penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter dilaksanakan oleh Apoteker ”. Dan Tenaga Teknis Kefarmasian menurut PP 51 tahun 2009 adalah “ tenaga yang membantu Apoteker dalam menjalani pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi / Asisten Apoteker”.

Melihat peraturan tersebut menandakan bahwa setiap apotek harus ada Apoteker untuk memberikan informasi kepada pasien dan bukan Tenaga Teknis Kefarmasian yang memberikan informasi kepada pasien. Tetapi pada kenyataannya sebagian besar apotek di Cilacap yang menyerahkan dan memberikan informasi obat kepada pasien adalah Tenaga Teknis Kefarmasian. Dan sering dijumpai pula bahwa Apoteker tidak berada di apotek yang ada hanya Tenaga Teknis Kefarmasian. Seharusnya dalam setiap apotek setiap saat harus ada Apoteker sedangkan Tenaga Teknis Kefarmasian bertugas untuk membantu Apoteker. Dan Apoteker harus selalu mendampingi Tenaga Teknis Kefarmasian.

Hal tersebut berbeda bila terjadi di daerah terpencil yang tidak terdapat Apoteker. Dalam PP nomor 51 tahun 2009 pasal 21 ayat 3 menyebutkan bahwa “ dalam hal di daerah terpencil tidak terdapat Apoteker, Menteri dapat menempatkan Tenaga Teknis Kefarmasian yang telah memiliki STRTTK pada sarana pelayanan kesehatan dasar yang diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat kepada pasien ”.

Beberapa sistem mungkin harus dibenahi dalam masalah ini. Dan tanggung jawab seorang Apoteker juga harus ditingkatkan. Hal ini bertujuan untuk memberikan pelayanan yang maksimal kepada pasien dan juga meminimalisir kesalahan dalam pelayanan obat. Dan bila Apoteker tidak berada di tempat, tetap harus ada Apoteker pengganti yang berada dalam apotek tersebut.

Jadi, dalam setiap apotek harus ada Apoteker untuk menyerahkan dan memberikan informasi kepada pasien. Dan Tenaga Teknis Kefarmasian sebagai pendamping untuk membantu Apoteker kecuali pada daerah terpencil yang tidak terdapat Apoteker.

Rabu, 21 Juli 2010

Implementasi Pelayanan Kefarmasian (Pharmaceutical Care)

Apoteker atau farmasis merupakan tenaga kesehatan yang jarang sekali terekspose keberadaannya. Di banyak rumah sakit apoteker sering terjebak pada padatnya tugas pengelolaan obat, alat kesehatan dan tugas administratif lainnya, yang menyebabkan apoteker kurang dapat meningkatkan pengetahuan dan peran kliniknya sehingga sulit berkomunikasi dengan dokter secara sejajar.
Walaupun demikian, ditingkat global dalam kalangan farmasis sendiri mulai ada panggilan untuk meningkatkan peranannya dalam pelayanan kesehatan, sehingga muncullah konsep pharmaceutical care . Konsep pelayanan kefarmasian (pharmaceutical care) merupakan pelayanan yang dibutuhkan dan diterima pasien untuk menjamin keamanan dan penggunaan obat yang rasional, baik sebelum, selama, maupun sesudah penggunaan obat.
Keinginan yang kuat untuk mengembalikan peran seorang farmasis di dunia kesehatan membuat pelayanan kefarmasian berkembang menjadi farmasis klinik (clinical pharmacist). Clinical pharmacist merupakan istilah untuk farmasis yang menjalankan praktik kefarmasian di klinik atau di rumah sakit. Keberadaan praktik profesional dari farmasis ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggantikan peranan dokter, tetapi bertujuan untuk memenuhi kebutuhan peningkatan pelayanan kesehatan terkait adanya peresepan ganda untuk satu orang pasien, banyaknya obat-obat baru yang bermunculan, kebutuhan akan informasi obat, angka kesakitan dan kematian yang terkait dengan penggunaan obat serta tingginya pengeluaran pasien untuk biaya kesehatan akibat penggunaan obat yang tidak tepat.
Badan kesehatan dunia (WHO) telah merumuskan suatu pedoman yang disebut Good Pharmacy Practice (GPP). Pedoman ini harus dirujuk oleh organisasi profesi farmasi maupun pemerintah di seluruh dunia yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
Menurut Dra Retnosari Andrajati MS.PhD Apt dari Departemen Farmasi FMIPA Universitas Indonesia, pada seminar kefarmasian, akhir Januari 2009 lalu GPP merupakan suatu standar pengukuran kualitas pelayanan. Keberadaannya menyebabkan seorang apoteker yang melakukan praktik berkewajiban untuk menjamin bahwa pelayanan yang diberikan pada setiap pasien memenuhi kualitas. Walaupun pembahasan GPP di Indonesia belum rampung, tetapi penerapannya sudah dimulai. "Ada empat rekomendasi utama untuk standar nasional dari GPP. Yaitu promosi kesehatan dan pencegahan sakit, penyediaan dan penggunaan obat/alat kesehatan, swamedikasi dan perbaikan peresepan dan penggunaan obat," kata Retno.
Ruang lingkup dalam pelayanan farmasi harus dilaksanakan dalam kerangka sistem pelayanan kesehatan yang berorientasi pada pasien. Ruang lingkup pelayanan farmasi tersebut meliputi tanggung jawab farmasis dalam menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan, menjamin kualitas obat yang diberikan aman dan efektif dengan memperhatikan keunikan individu, menjamin pengguna obat atau alat kesehatan dapat menggunakan dengan cara yang paling baik, dan bersama dengan tenaga kesehatan lain bertanggungjawab dalam menghasilkan therapeutic outcomes yang optimal.
Dra. Rina Mutiara M.Pharm, Apt. dari RSCM mengatakan hubungan dokter dan farmasis dapat dilihat dalam ronde ruangan. Farmasis juga dapat membuat rekomendasi penggunaan obat pasien yang meliputi : pemilihan obat, dosis obat, frekuensi obat, lama pemberian obat, cara pemberian serta interaksi obat.
Keberadaan farmasis klinis sudah dapat dirasakan di RSCM. "Dengan adanya farmasis klinik diruang rawat departemen ilmu kesehatan anak, pemakaian antibiotika dapat diturunkan menjadi 51 % dari sebelumnya yang 65 % dan juga mengurangi pemakaian obat yang berlebihan" tambah Rina. Selain itu farmasis di RSCM juga diikutsertakan dalam tim nutrisi yang dibentuk oleh Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM di awal tahun 2008 yang juga terdiri dari dokter gizi anak dan perawat. Menurut Rina, meningkatnya pasien anak dengan gizi buruk yang membutuhkan Total Parenteral Nutrisi membuat farmasis semakin jelas dibutuhkan keberadaannya dalam tim kesehatan

referensi : http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=1150

Nikotin dalam Tembakau termasuk Zat Adiktif

Usaha produsen rokok untuk memberikan informasi tentang bahaya merokok yang tertera di setiap bungkus rokok ternyata tidak menyurutkan para penikmat rokok untuk berhenti menghisap barang yang mengandung zat adiktif ini. Mereka hanya mementingkan kenikmatan sesaat saja tanpa perduli tentang bahaya yang ditimbulkan pada masa yang akan datang. Setiap batang rokok yang dinyalakan akan mengeluarkan lebih 4000 bahan kimia beracun yang membahayakan dan bisa membawa maut. Kandungan asap rokok diantaranya : bahan radioaktif (polonium-201) dan bahan-bahan yang digunakan di dalam cat (acetone), pencuci lantai (ammonia), naphthalene, racun serangga (DDT), racun anai-anai (arsenic), gas beracun (hydrogen cyanide) yang digunakan di “kamar gas maut” bagi nara pidana yang menjalani hukuman mati. Dan racun yang paling penting adalah Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida.
Tar merupakan komponen dalam asap rokok yang tinggal sebagai sisa sesudah dihilangkan nikotin dan tetesan-tetesan cairannya.
Tar merupakan kumpulan berbagai zat kimia yang berasal dari daun tembakau sendiri, maupun yang ditambahkan pada tembakau dalam proses pertanian dan industri rokok. Perlu diketahui bahwa kadar tar dalam rokok merupakan zat perangsang timbulnya kanker dalam tubuh.

Nikotin adalah zat yang terdapat pada daun tembakau yang dapat menyebabkan rasa ketagihan. Nikotn merupakan zat yang berbahaya karena dapat menyebabkan terhentinya pernapasan. Menghisap rokok sama saja dengan mengisap nikotin. Nikotin menaikkan tekanan darah dan mempercepat denyut jantung hingga pekerjaan jantung menjadi berat.

Karbon monoksida merupakan gas beracun yang tidak berbau sama sekali. Tentu saja, gas karbon monoksida yang terdapat dalam asaprokok dapat menyebabkan ganguan terhadap haemoglobin (Hb, darah merah). Karbon monoksida dapat menyingkirkan oksigen (O2 ) dalam tubuh. Bahaya yang lainnya adalah akan menyebabkan penyempitan jaringan pembuluh darah.
Melihat dari kandungan bahan-bahan yang berbahaya di dalam rokok, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menetapkan bahwa nikotin yang terkandung di dalam rokok merupakan zat adiktif. Sebelumnya, tidak ada satu ayatpun dalam Undang-Undang no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan istilah zat adiktif. Namun, kemudian tiba-tiba dimunculkan pasal khusus yaitu Pasal 113 ayat (2) yang menyebut tembakau bersifat adiktif. Secara lengkap, pasal itu berbunyi “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”.

Dari penjelasan diatas, sebaiknya para konsumen rokok lebih berfikir tentang kondisi kesehatannya di masa yang akan datang daripada mementingkan kenikmatan sesaat dari menghisap rokok. Karena dampak negatif yang ditimbulkan lebih banyak dibanding dampak positifnya.

Referensi :
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bc7457d6ef51/mk-diminta-menyatakan-tembakau-bukan-zat-adiktif
http://malikmakassar.wordpress.com/2008/10/05/zat-adiktif-dan-psikotropika/
http://dedidwitagama.wordpress.com/2007/12/01/kandungan-rokok/

Nikotin dalam Tembakau termasuk Zat Adiktif

Usaha produsen rokok untuk memberikan informasi tentang bahaya merokok yang tertera di setiap bungkus rokok ternyata tidak menyurutkan para penikmat rokok untuk berhenti menghisap barang yang mengandung zat adiktif ini. Mereka hanya mementingkan kenikmatan sesaat saja tanpa perduli tentang bahaya yang ditimbulkan pada masa yang akan datang. Setiap batang rokok yang dinyalakan akan mengeluarkan lebih 4000 bahan kimia beracun yang membahayakan dan bisa membawa maut. Kandungan asap rokok diantaranya : bahan radioaktif (polonium-201) dan bahan-bahan yang digunakan di dalam cat (acetone), pencuci lantai (ammonia), naphthalene, racun serangga (DDT), racun anai-anai (arsenic), gas beracun (hydrogen cyanide) yang digunakan di “kamar gas maut” bagi nara pidana yang menjalani hukuman mati. Dan racun yang paling penting adalah Tar, Nikotin dan Karbon Monoksida.


Tar merupakan komponen dalam asap rokok yang tinggal sebagai sisa sesudah dihilangkan nikotin dan tetesan-tetesan cairannya. Tar merupakan kumpulan berbagai zat kimia yang berasal dari daun tembakau sendiri, maupun yang ditambahkan pada tembakau dalam proses pertanian dan industri rokok. Perlu diketahui bahwa kadar tar dalam rokok merupakan zat perangsang timbulnya kanker dalam tubuh.


Nikotin adalah zat yang terdapat pada daun tembakau yang dapat menyebabkan rasa ketagihan. Nikotin merupakan zat yang berbahaya karena dapat menyebabkan terhentinya pernapasan. Menghisap rokok sama saja dengan mengisap nikotin. Nikotin menaikkan tekanan darah dan mempercepat denyut jantung hingga pekerjaan jantung menjadi berat.


Karbon monoksida merupakan gas beracun yang tidak berbau sama sekali. Tentu saja, gas karbon monoksida yang terdapat dalam asaprokok dapat menyebabkan ganguan terhadap haemoglobin (Hb, darah merah). Karbon monoksida dapat menyingkirkan oksigen (O2 ) dalam tubuh. Bahaya yang lainnya adalah akan menyebabkan penyempitan jaringan pembuluh darah.


Melihat dari kandungan bahan-bahan yang berbahaya di dalam rokok, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menetapkan bahwa nikotin yang terkandung di dalam rokok merupakan zat adiktif. Sebelumnya, tidak ada satu ayatpun dalam Undang-Undang no.36 tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebutkan istilah zat adiktif. Namun, kemudian tiba-tiba dimunculkan pasal khusus yaitu Pasal 113 ayat (2) yang menyebut tembakau bersifat adiktif. Secara lengkap, pasal itu berbunyi “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan, dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan/atau masyarakat sekelilingnya”.


Dari penjelasan diatas, sebaiknya para konsumen rokok lebih berfikir tentang kondisi kesehatannya di masa yang akan datang daripada mementingkan kenikmatan sesaat dari menghisap rokok. Karena dampak negatif yang ditimbulkan lebih banyak dibanding dampak positifnya.


Referensi :

http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bc7457d6ef51/mk-diminta-menyatakan-tembakau-bukan-zat-adiktif

http://malikmakassar.wordpress.com/2008/10/05/zat-adiktif-dan-psikotropika/

http://dedidwitagama.wordpress.com/2007/12/01/kandungan-rokok/

Selasa, 20 Juli 2010

Sentra Usaha Jamu Cilacap Siaga Satu

Sentra usaha jamu di Desa Gentasari, Kecamatan Kroya, Cilacap terancam gulung tikar. Kasus 32 produk jamu Cilacap yang diduga mengandung bahan kimia obat (BKO) tahun 2001, yang berhenti penyidikannya akan dibuka kembali dan dilakukan penyidikan ulang.

Kepala Kepolisian Wilayah Banyumas, Bay Salamuddin, sebagaimana dikutip dari kedaulatan rakyat (27/11) telah memerintahkan Kepolisian Resort Cilacap untuk melakukan penyidikan ulang. Kasus ini muncul setelah Balai Pengawasan Obat dan Makanan (Balai POM) tahun 2001 menemukan 32 produk jamu yang diduga bermasalah sehigga mengeluarkan Public Warning KB POM nomor 11.066.2001 tertanggal 26 Nopember 2001 yang berisi 32 produk jamu yang membahayakan konsumen.



Dari 32 produk jamu tersebut, lima di antaranya diproduksi oleh perusahaan yang dimiliki oleh Bupati Cilacap, Probo Yulastoro. Dalam publik warning tersebut, Balai POM juga menginstruksikan agar jamu tersebut dimusnahkan dan membatalkan nomor registrasi karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan dan UU No 8/1999 tentang Perlindungan Konsumen dengan ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 2 miliar.

Setelah tujuh tahun berjalan, hingga kini belum ada tindak lanjut atas public warning dari pihak kepolisian. Para warga berpendapat lambatnya tindakan polisi terkait dengan posisi Probo Yulastoro sebagai orang nomor satu di Kabupaten Cilacap. Pembukaan kembali kasus jamu untuk dilakukan penyidikan ulang menurut Bay Salamuddin, membuktikan kepolisian serius bekerja. Tindakan ini juga menepis penilaian dari warga yang menyatakan posisi seseorang menjadikannya kebal hukum. Siapapun yang melakukan pelanggaran harus ada sanksi hukumnya.

Akibat tindakan pengusaha jamu yang nakal, banyak pengrajin jamu lainnya terkena dampaknya. Usaha pemasaran jamu yang dikelola oleh keluarganya hampir bangkrut karena konsumen terpengaruh dengan pemberitaan di media massa. Ibaratnya, karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Kini, tradisi dan pondasi usaha jamu tradisional warga Desa Gentasari dihancurkan oleh segelintir orang yang ingin mengeruk kekayaan secara cepat.

referensi : http://cilacap-online.com/politik/83-sentra-usaha-jamu-cilacap-siaga-satu.html

Senin, 19 Juli 2010

Peran Asisten Apoteker

Pengertian Asisten Apoteker berdasarkan keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian sebagai Asisten Apoteker. Sedangkan menurut keputusan Menteri Kesehatan RI No. o. 679/MENKES/SK/V/2003, tentang Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker menyebutkan bahwa “Asisten Apoteker adalah Tenaga Kesehatan yang berijazah Sekolah Menengah Farmasi, Akademi Farmasi Jurusan Farmasi Politeknik Kesehatan, Akademi Analisis Farmasi dan Makanan Jurusan Analis Farmasi dan Makanan Politeknik Kesehatan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku".

Asisten apoteker dalam melakukan pekerjaannya selalu berhubungan dengan apoteker, dokter, pasien, dan tenaga kesehatan lainnya karena itu asisten apoteker harus mempunyai kemampuan berkomunikasi yang baik. Seperti diketahui bahwa hubungan antara asisten apoteker dengan apoteker dan dokter dalam usaha memeberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat adalah hubungan yang sangat penting. Dalam hubungan ini diperlukan kerjasama yang baik dari ketiganya sebagai mitra kerja yang satu sama lain saling membutuhkan.

Hubungan asisten apoteker dengan apoteker adalah hubungan yang penting karena apoteker adalah sebagai penanggung jawab apotek yang mana dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh asisten apoteker. Tanpa adanya keharmonisan maka akan menghambat keduanya dalam melaksanakan tugasnya. Hubungan antara asisten apoteker, apoteker dan dokter sebagai sesama tenaga kesehatan yang mempunyai tanggung jawab terhadap pasien dalam hal obat-obatan.

Hubungan antara dokter, apoteker dan asisten apoteker terletak pada saat adanya permintaan resep dari dokter kepada apoteker yang dibantu asisten apoteker agar menyediakan obat yang ditujukan kepada pasien dan apabila ditemukan hal-hal yang meragukan, apoteker atau asisten apoteker dapat menghubungi dokter untuk berkonsultasi mengenai obat-obatan yang akan diberikan kepada pasien sehingga pasien benar-benar mendapatkan obat yang tepat dan aman tanpa khawatir akan adanya interaksi obat yang membahayakan.

Asisten apoteker yang bekerja pada pelayanan kesehatan merupakan perpanjangan tangan dari sebagian tugas seorang apoteker. Asisten apoteker yang bekerja di bawah pengawasan apoteker merupakan ujung tombak dari pelayanan di apotek, yang akan melayani pasien dengan baik serta memberikan informasi sejelas-jelasnya tentang obat dan perbekalan kesehatan yang ditulis dokter dalam resepnya. Dalam melakukan pekerjaan kefarmasian diperlukan sikap hati-hati dan ketelitian tinggi, karena apabila ada kesalahan sedikit saja, maka akan sangat merugikan pasien bahkan bisa mengancam jiwa pasien.

Seorang asisten apoteker yang telah mengucapkan sumpah, memiliki ijazah dan mendapat surat izin kerja yang dikeluarkan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia harus dapat menjalankan pekerjaannya sesuai tugas dan standar profesinya dan memiliki wewenang dan tanggung jawab dalam melaksanakan pekerjaan kefarmasian di bawah pengawasan apoteker.

Kesimpulannya adalah peran seorang asisten apoteker sangatlah penting dan bukan hanya sekedar sebagai 'pembantu' apoteker.


Referensi:

  • www.pafi-blog.co.cc
  • www.farmasi-samarinda.co.cc